TUBAN, SEJARAH DAN LEGENDA
Nama ‘Tuban’ berasal dari sebuah sumber air tawar yang ditemukan di tempat tersebut2. Peristiwa ini membuat orang menamakannya ‘me(tu) (ban)yu” (keluar air). Sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Tuban3. Dulunya Tuban bernama Kambang Putih4. Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 5), Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina- Mongolia (tentara Tatar), yang pada th. 1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164). Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai.
Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163). Untuk mengurangi kesimpang siuran tentang hari jadi kota Tuban Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tuban (waktu itu dijabat Drs. Djoewahiri Martoprawiro), menetapkan tanggal 12 Nopember 1293 sebagai hari jadi kota Tuban7. Panitia kecil yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tuban waktu itu memberi alasan bahwa ditetapkannya tanggal tersebut karena bertepatan dengan diangkatnya Ronggolawe sebagai Adipati Tuban. Ronggolawe dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat Tuban, dan dianggap sebagai Bupati pertama Tuban8.
Seperti halnya dengan kota-kota lain di Jawa pada umumnya sumber sejarah kota Tuban sangat sulit didapat. Bahan tulisan yang ada penuh dengan campuran antara sejarah dan legenda. Buku “Babad Tuban” yang ditulis oleh Tan Khoen Swie (1936), yang diteliti oleh De Graaf, disebut sebagai salah satu
sumber sejarah Tuban. Tapi buku tersebut lebih memuat tentang masalah pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban, sedang bentuk phisik kotanya hampir tidak disinggung sama sekali9. Berita catatan tentang bentuk phisik kota Tuban secara samar-samar didapat dari berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599. Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170). Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban10 pada abad ke 16, waktu diadakan latihan Senenan
Gambar 1. Perlombaan setiap minggu (Senenan), yang diamati oleh Belanda di alun-alun Tuban, pada th. 1599. Pusat kejayaan kota Tuban seperti Keraton beserta alun-alunnya ini dihancurkan oleh balatentara Mataram yang memasuki Tuban pada th. 1619. Alunalun lama tersebut (luasnya 150x200 M) masih ada di desa Prungguhan Kulon kecamatan Semanding sebelah Selatan kota Tuban yang sekarang.
Sayang sekali bahwa bukti dari bangunan kota lama Tuban pada masa jayanya (abad ke15) sama sekali tidak terdokumentasi11. Yang ada hanya gambar sketsa dari alun-alun serta bangunan semi permanen di sekitarnya (lihat gb. no.3 dan no.6). Kota Tuban mengalami kemunduran secara dratis akibat dari beberapa kali penyerangan yang dilakukan oleh bala tentara Mataram dari pedalaman12. Baru pada th. 1619, Tuban ditundukkan secara tuntas oleh Sultan Agung yang terus memperluas daerahnya (Graaf, 1985:170). Pada abad ke 17 dan sesudahnya, yang memerintah di Tuban ialah Bupati-Bupati yang diangkat oleh raja-raja dinasti Mataram.
Struktur kota Tuban selama peperangan penaklukkan tersebut kemudian dihancurkan oleh bala tentara pedalaman (Mataram). Alun-alun dan pusat kota yang lama terletak di sebelah Selatan pusat
kota yang kemudian ditinggalkan (terletak di desa Prungguhan Kulon Kecamatan Semanding, kurang lebih 5 km sebelah Selatan pusat kota Tuban yang sekarang-lihat gb.no.2). Baru setelah abad ke 18 secara perlahan kota Tuban kemudian sedikit demi sedikit bangkit kembali. Alun-alun kota yang merupakan pusat kota yang baru, dipakai sebagai titik awal pembangunan kembali kota nya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kedudukan kota Tuban tidak lebih sebagai kota Kecamatan belaka. Meskipun pada awal abad ke 20 kota ini dilewati jalan kereta api dengan sebuah stasiun, tapi alat transportasi tersebut tidak menolong banyak terhadap perkembangan ekonomi kotanya. Bahkan stasiun kereta api yang terletak di sebelah Selatan kota tersebut sekarang sudah ditutup (lihat peta gb.no.15). Pada awal abad ke 21, dengan
kebangkitan ekonominya serta adanya undangundang otonomi daerah yang baru, kota ini mencoba untuk bangkit kembali dengan pembenahan yang dimulai dari daerah pusat kota (alun-alun dan daerah disekitarnya)
Kota Tuban yang lama letaknya ada disebelah Selatan (kurang lebih 5 km) dari kota Tuban yang sekarang. Tepatnya sekarang di desa Prungguhan Kulon kecamatan Semanding. Tidak ada data kapan tepatnya kota ini pindah ke daerah yang ada sekarang. Pada abad ke 18, Tuban sudah tidak termasuk dalam jaringan perdagangan kota-kota pantai Utara Jawa. Meskipun secara geografis kota ini sangat trategis untuk perdagangan laut, pelabuhannya telah mengalami pendangkalan sehingga kapal-kapal yang berukuran sedang saja sulit merapat ke daratan. Akibatnya Tuban ditinggalkan dalam perdagangan laut tersebut pada abad ke 18
Pada jaman kolonial, terutama awal abad ke 20, pemerintah kolonial lah yang menentukan hierarki kota-kota pelabuhan di Jawa. Pelabuhan mana yang akan direncanakan sebagai pelabuhan utama, mana yang akan berperan sebagai tempat mengumpulkan bahan produksi (collecting centres) atau mana yang sebagai pelabuhan penunjang saja (feeder point).
Mundurnya peran pelabuhan Tuban, akibat dari sejarah masa lampaunya, serta makin mendangkalnya pelabuhan, mengakibatkan kota ini hampir tidak berperan sama sekali sebagai pelabuhan penting dimasa kolonial. Tuban hanya berperan sebagai kota pelabuhan rakyat yang kecil saja. Sehingga baik secara produktifitas maupun administratif kota ini mengalami stagnasi selama jaman colonial.
Gambar 3. Pemandangan alun-alun kuno Tuban (yang sekarang ada di desa Prungguhan Kulon) yang penuh ditempati oleh kandang gajah. Sketsa ini diambil pada th. 1599, ketika kapal dari Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari th. 1599, mendarat di Tuban.
Jika anda menginginkan file selengkapnya Klik disini !